Kota Kendari terdiri dari beberapa suku bangsa, salah satunya adalah suku bangsa Tolaki. Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna dan Suku Buton yang berasal dari pulau Buton. Sekitar abad ke-10 daratan Sulawesi Tenggara memiliki dua kerajaan besar yaitu kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe) dan Kerajaan Mekongga (Wilayah Kabupaten Kolaka) secara umum kedua Kerajaan ini serumpun dan dikenal sebagai suku Tolaki. Dalam artikel ini saya akan membahas secara singkat tentang Kebudayaan masyarakat Tolaki.
Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Konawe yang berkedudukan di Unaaha pernah menerapkan perangkat pemerintahan yang dikenal dengan SIWOLE MBATOHU sekitar tahun 1602/1666 yaitu :
1) Tambo I ´Losoano Oleo
2) Tambo I´ Tepuliano Oleo
3) Bharata I´Hana;
4) Bharata I´ Moeri
Ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan mereka terdapat satu simbol peradaban yang mampu mempersatukan dari berbagai masalah atau persoalan yang mampu mengangkat martabat dan kehormatan mereka disebut: “KALO SARA” serta kebudayaan Tolaki ini yang lahir dari budi, tercermin sebagai cipta rasa dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan kebersamaan dan kehalusan pergaulan dalam bermasyarakat.
Didalam berinteraksi sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya yang merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan , adapun filosofi kebudayaan masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, antara lain sebagai berikut :
- Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat), masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih menyelesaikan secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam hal sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat tolaki, misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat tolaki akan menghormati dan mematuhi setiap putusan lembaga adat. Artinya masyarakat tolaki merupakan masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih jalan damai dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
- Budaya Kohanu (budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari pertahanan diri dari setiap pribadi masyarakat tolaki yang setiap saat, dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga, dipelihara dan dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang akan tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu, pemabuk, penjudi dan miskin, dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya Malu dapat dikatakan sebagai motivator untuk setiap pribadi masyarakat tolaki untuk selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang terdepan.
tarian lulo |
- Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini merupakan budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan santun, saling hormat-menghormati sesama manusia. Hal ini sesuai dengan filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara lain sebagai berikut:
Ø “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno”
Artinya :
Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain akan banyak sopan kepadanya.
Ø “Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka ia akan dikenakan sanksi / hukuman
Ø “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”
Artinya : Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan
- Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong menolong dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi setiap permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara adat,pesta pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai warga negara, selalu bersatu, bekerjasama, saling tolong menolong dan bantu-membantu .
- Budaya “taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati diri sebagai orang tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu” (budaya malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat sifat mandiri,kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang tolaki .
Mudah-mudahan dari sekian banyak nilai-nilai budaya masyarakat Tolaki yang ada, apa yang saya berikan pada artikel ini bisa lebih membuka mata dan memberi sedikit gambaran tentang kebudayaan Masyarakat Tolaki.
Khasanah kehidupan masyarakat di Kota Kendari Khususnya dan Sulawesi Tenggara Umumnya bukan hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur suku bangsa Tolaki tetapi juga oleh masyarakat suku lainnya yang berada di “bumi anoa”, kesemuanya menjadi daya perekat dalam kehidupan bemasyarakat di daerah ini .kerukunan antar ummat beragama juga memberi warna tersendiri ditengah- tengah kepercayaan dan keyakinan untuk menyerahkan diri kepada Tuhannya masing-masing.
perkelahian kuda |
bangsaawan buton |
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kalensusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walau pun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.
Walau bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena daripada sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:
- Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
- Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
- Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru beliau yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.
Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), bererti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi kerana masa beliau telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani ? Dan apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.
Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.
Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahawa ada hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton sembahyang Jumaat di Ternate.
Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam mahu pun sekular, terdapat perbezaan yang sangat ketara dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahawa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Walau bagaimanapun ajaran syariat tidak diabaikan.
Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.
Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan raja Bataraguru, raja Tuarade, raja Rajamulae, dan terakhir raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama Islam, maka raja Murhum bergelar Sultan Murhum.
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.
Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti. Berdasarkan penelitian, RatuWaa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat kesultanan buton adalah lambang demokrasi kesultanan buton. di sini dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat Buton.
Pembagian kelompok di majelis yang diatur dalam UU yang disebut Tutura ini adalah sebagai berikut:
- Eksekutif= Sara Pangka
- Legislatif= Sara Gau
- Yudikatif= Sara Bitara
- Fraksi rakyat = Beranggotakan 30 menteri/bonto ditambah 2 menteri besar yang juga mewakili pemukiman-pemukiman di wilayah Buton.
- Fraksi pemerintahan = Pangka, Bobato, lakina Kadie yang mewakili pemerintahan.
- Fraksi Agama = Diwakili oleh pejabat lingkungan sarakidina/sarana hukumu yang berkonsentrasi di masjid agung kesultanan Buton.
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.
Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara.
Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapa-nya. Pada masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.
Wilayah kerajaan/kesultanan Buton sangat strategis. Pedagang dari India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di sana. Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara Sulawesi. Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua. Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).
Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam bahasa wolio dikenal dengan istilah digogoli.
Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu :
“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu : Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara, dan Kota Bau-Bau.
Suku Moronene
BOMBANA dikenal sebagai wilayah yang dihuni oleh Suku 'Moronene' sebagai penduduk asli, salah satu etnis terbesar di Sulawesi Tenggara, dimitoskan sebagai Negeri Dewi Padi (Dewi Sri). Konon, sang dewi pernah turun di sebuah tempat yang belakangan disebut Tau Bonto (saat ini lebih dikenal dengan penulisan Taubonto, ibukota Kecamatan Rarowatu). Dalam Bahasa Moronene, 'tau bonto' berarti tahun pembusukan, karena ketika Dewi Padi itu turun di tempat tersebut, produksi padi ladang melimpah ruah sehingga penduduk kewalahan memanennya. Akibatnya, banyak padi tertinggal dan membusuk di ladang. Padahal, luasan ladang yang dibuka tak seberapa, hanya beberapa hektar saja untuk setiap keluarga.Taubonto menjadi pusat pemerintahan di zaman kekuasaan mokole, gelar raja di wilayah Moronene pada masa lalu. Di masa pemerintahan swapraja Buton pascakemerdekaan, wilayah kekuasaan mokole berubah menjadi wilayah distrik dan selanjutnya sekarang menjadi kecamatan.
Secara historis, wilayah Moronene di daratan besar jazirah Sulawesi Tenggara mencakup sebagian Kecamatan Watubangga di Kabupaten Kolaka sekarang. Namun, yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Buton (waktu itu) hanya Kecamatan Poleang dan Kecamatan Rumbia. Saat itu telah berkembang menjadi empat kecamatan. Dua kecamatan tambahan sebagai hasil pemekaran adalah Poleang Timur dan Rarowatu. Kecamatan Rarowatu berpusat di Taubonto.
Pulau Kabaena juga termasuk wilayah Moronene, sebab penduduk asli pulau penghasil gula merah itu adalah suku Moronene. Meski demikian, pemerintahan Mokole di Kabaena bersifat otonom, tidak ada hubungan struktural maupun hubungan afiliatif dengan kekuasaan Mokole di daratan besar, akan tetapi hubungan kekerabatan di antara mokole dan rakyat sangat erat terutama bahasa dan budaya yang khas. Kekuasaan mokole di Kabaena berada di bawah kontrol Kesultanan Buton, seperti halnya mokole lainnya di daratan besar jazirah Sulawesi Tenggara. Sultan Buton menempatkan petugas keraton di Kabaena yang bergelar Lakina Kobaena. Karena itu secara struktural Kabaena lebih dekat dengan Buton, walaupun begitu secara kultural lebih dekat dengan Bombana, terkait budaya dan bahasa, serta ras.
Tak hanya Mentawai dan Minangkabau, tapi juga suku Moronene di Sulawesi Tenggara dan Suku yang ada di Kalteng (Maaf saya kurang tahu namanya). Bisa dilihat ada kemiripan dengan topi yang mereka kenakan. Dulu saya juga pernah melihat suatu suku di Sulawesi Tengah, Selatan, dan Barat mengenakan topi serupa. Hal yang membuat saya tertarik ialah, kalau Sulawesi Tengah, Selatan, Barat, dan Tenggara mungkin memang dulu ada hubungan yang kuat antar suku karena memang masih satu daratan. Tapi bagaimana dengan suku yang ada di Kalteng ini? Wah,,, Saya rasa buku Eden In The East menunjukkan bukti kuat yang baru menganai Indonesia sebagai pusat peradaban dunia. Hehe.